MATI DITELAN BUMI
Puisi Muhammad Rianda Safriyanto
Langit telah mendung untuk selamanya.
Hujan deras mengguyur tanpa henti.
Tiada pelangi, tiada warna-warni.
Tersapu, tenggelam,
Seperti pasir yang diterjang ombak lautan.
Ganas, garang, seakan hancur tak berbentuk lagi.
Laksana berdiri di karang yang rapuh,
Aku menjadi goyah, penuh keraguan.
Angan yang kupilih, tertiup sia-sia dan menjauh
Tak ada harapan, tak ada impian.
Ibarat burung kehilangan sayapnya,
Tak bisa menjelajahi langit berteman matahari .
Aku telah lupa untuk melanglang buana,
mencari cinta di dalam hati.
Ibarat ikan yang tiada siripnya,
Tak bisa menyelami ke dasar sanubari.
Aku telah lalai menyelami, siapa aku ini,
Jati diri macam apakah aku ini.
Ibarat singa yang patah taringnya,
Telah gagal menjadi pemimpin hati sendiri.
Aku sadari dan mengangkat kepala,
Entah mengapa harus terjadi.
Bumi yang terpijak telah salah memilihku.
Seolah menarikku dan ingin mengenyahkanku.
Melemparkanku ke tanah gersang dan kering.
Bermandikan debu kotor, jijik dan bising.
Andai bisa memilih,
tutupkanlah hati ini,
Kacaukanlah fikiran ini.
Agar aku tak dapat menikmati keindahan dunia ini,
Agar aku tak dapat merasakan surga duniawi,
Agar aku tak dapat menginjakkan kaki ke neraka Ilahi.
Butakah mataku ini ?
Yang hanya melirik kegemerlapan disana-sini.
Tanpa melihat semua intisari.
Tulikah aku ini ?
Tak bisa mendengar senda gurau para bidadari.
Tertawaan, hinaan, dan cacian jadi alunan musik nan indah sehari-hari.
Bisukah aku ini ?
Berdiam diri tanpa menyairkan senandung merdu melodi.
Berdendang riang gembira bersama kicau burung kasuari.
lupakah aku ini ?
Kurang bersyukur dari rezeki
Kurang berterima kasih atas kecukupan selama ini.
Kurang puas dan ingin selalu minta lebih.
Bodohnya aku ini,
Yang tak sadar akan semua ini.
Akhiratlah stasiun saatku mati.
Tempat membalas kelakuanku di bumi.
Dimana tubuhku tak hancur dan abadi.
Aku ini hanya berasal dari setetes mani
Yang dibesarkan ibu dengan cinta kasih.
Dididik dan diajari
Sopan santun dan budi pekerti.
Buat apa rela bercucuran keringat,
Buat apa rela bermandikan darah,
Tak kusesali segala yang kubuat,
Karena aku harap ini berakhir indah.
Tak kan aku tangisi,
Karena mati ditelan bumi, itu jauh lebih berarti.
Dari pada hidup bertemankan sepi.
Mengurung diri dan berteriak tanpa henti.
Ampunan tak kan lagi kuberi.
Kan kupelajari penyesalan ini.
Bangun dari pembaringan dan bangkit kembali.
Untuk esok yang lebih cerah bagai mentari.
Monday, April 16, 2012