Cerita ini ada berdasarkan kisah nyata seorang mahasiswi kepada seorang suster, dan surter pernah menceritakannya kembali kepada saya.
Dengan berdasarkan keterangan dari Suster itu lah tulisan ini ada dan saya rangkai menjadi sebuah tulisan karangan yang pada dasarnya menjelaskan tentang kehidupan si wanita tersebut.
Dengan berdasarkan keterangan dari Suster itu lah tulisan ini ada dan saya rangkai menjadi sebuah tulisan karangan yang pada dasarnya menjelaskan tentang kehidupan si wanita tersebut.
Aku memang berbeda dengan yang lain, berbeda dengan sesama sejenisku, katanya mengawali pengakuannya kepada saya. "Rini" (nama samaran) adalah seorang mahasiswi disalah satu perguruan tinggi swasta di kota yogyakarta. Hidup dalam perjuangan dan pergolakan melawan diri sekaligus menerima diri apa adanya membuat Rini harus menemukan makna setiap pengalamannya. Di dalam pengakuannya Rini mengatakan bahwa sejak remaja selalu bermain dan bersikap lazimnya seorang laki- laki. Aku terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua saudaraku adalah laki- laki. Maka sikap kelaki- lakianku muncul bukan sesuatu yang aneh buatku, karena saudara dan orang tua juga memperlakukanku sama halnya dengan saudara-saudaraku. Aku tidak merasa itu merupakan perlakuan yang ganjil. Pergaulan di luar rumah yang cukup bebas juga mempengaruhiku untuk semakin membentuk karakterku seperti seorang laki-laki. Semua sikapku merupakan sesuatu yang sah- sah saja buat kedua orang tua dan saudaraku.
Pengalamanku saat memasuki sekolah menengah atas (SMA) adalah awal kesadaran tentang keberadaanku. Sejak saat itu aku menyadari ada sesuatu yang aneh dalam diriku. Mencintai sesama jenis merupakan kejanggalan bagiku apalagi bagi orang-orang disekitarku. Semua teman-temanku memiliki pacar/pasangan yang berbeda jenis. Wajar anak seusia itu sudah memiliki pacar. Tetapi anehnya aku tidak mengalami rasa ketertarikan dengan lawan jenis. Justru merasakan semangat jika melihat orang yang sejenis. Kesadaran ini membuatku tetap menjaga sikap di depan teman-temanku tanpa menghindar dari mereka. Seiring berjalannya waktu akupun tidak mampu hidup dalam kepura-puraan. Aku merasa minder dengan keberadaanku, sikap protesku pun mulai muncul. Aku mulai marah kepada Tuhan. Berbagai pertanyaan dan hujatan aku lontarkan sebagai bentuk ketidaksetujuanku akan diriku. Mengapa aku harus berbeda dengan teman-temanku? Mengapa aku hidup jika hanya untuk bahan perbincangan orang? Mengapa aku dilahirkan kalau memang tidak memilki identitas yang tidak jelas? Banyak pertanyaan dan ungkapan sebagai bentuk rasa kekecewaanku. Sejak saat itu minder dan penolakan akan diriku membuatku enggan untuk pergi kesekolah. Aku kehilangan arti sebuah hidup. Pergi ke sekolah seakan pergi ke neraka bagiku, hingga akhirnya aku dikeluarkan dari sekolah.
Dengan segudang harapan dan kebaikan, orang tuaku mendaftarkanku masuk ke sekolah yang lain. Sekolah yang baru ternyata bukan solusi bagiku. Masalah yang lebih berat aku alami disini. Orang-orang aneh sepertiku ternyata memiliki signal tinggi mencari orang-orang yang memiliki kecenderungan yang sama. Orang-orang itu aku temukan di sekolah baruku. Awalnya aku menolak tawaran pertemanan yang mereka tawarkan kepadaku. Berpacaran dengan sesama jenis tetap merupakan sesuatu yang tidak wajar bagiku. Namun rasa kesepianku dan pertemuan yang teratur membuatku ikut dalam arus mereka. Aku mulai menikmati pertemanan itu. Setiap sentuhan, kebersamaan dan pertemuan aku maknai sebagai sepasang kekasih yang saling dilanda asmara. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta dengan seorang wanita. Percintaan ini membuatku lupa akan segala-galanya. Aku hanya berarti bila bersamanya. Aku seakan tidak bisa hidup tanpa dia. Diriku tak mungkin lagi terpisahkan dengan teman kencanku itu.
Seiring waktu yang terus bergulir akupun mulai gonta-ganti pasangan dan bertindak lebih jauh lagi. Aku mulai mengenal dan mengkomsumsi ganja, rokok dan minuman keras. Aku hidup dalam kebrutalan. Kebetulan keluargaku termasuk orang yang mampu dalam hal ekonomi sehingga uang dan segala kebutuhan tidak menjadi penghalang bagiku.
Mendapatkan teman kencan yang sesuai bukanlah hal yang mudah apalagi pasangan yang sejenis. Hal ini membuatku tetap mempertahankan dia dan tak mampu menolak segala permintaanya. Uang, laptob HandPhone adalah barang yang mudah kuberikan kepadanya. Kemudahan yang aku miliki membuat teman kencanku mempermainkanku untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Kekuatan cintaku membuatku tidak mampu berpikir wajar. Memaksa orang tua pun aku lakukan demi membahagiakan dia agar tidak meninggalkanku. Bersikap mengancam dan memaksa orang tua untuk memenuhi kemauanku menjadi hal biasa bagiku hanya untuk membahagiakannya.
Suatu malam aku terpaksa harus kembali ke rumah orang tua karena teman kencanku mengobrak-abrik kamar kostku. Dia kecewa karena tidak mendapat apa yang dia mau. Untuk menjaga keutuhan persahabatanku, aku memutuskan kembali ke rumah orang tua untuk mendapatkan semua kebutuhan itu.
Di tengah malam disaat semua orang telah tidur lelap, aku merasa panas yang luar bisa. Kebetulan saat itu lagi musim kemarau, tapi aku tidak terlalu menghiraukannya. Tetapi lama kelamaan panas itu semakin menyengat dan membuatku baranjak dari tempat tidur. Aku terkejut melihat ada cahaya di sekitar gudang minyak milik orang tuaku. Aku mendekat untuk melihat lebih jelas, ternyata apa yang menjadi kebanggaanku selama ini telah hancur. Gudang minyak yang besar milik orang tuaku habis terbakar. Aku menjerit histeris sambil membangunkan orang tuaku, tanpa berpikir untuk mengambil barang yang dapat diselamatkan. Orang tuaku memerintahkan aku dan kakakku langsung meninggalkan rumah, karena gudang minyak itu berdampingan dengan rumah kami. Kami berteriak minta tolong sambil berusaha menyelamatkan diri. Kami berlari dalam kebingungan menuju rumah pakde yang tidak jauh dari rumah. Rumah pakde menjadi tempat pengungsian kami sementara.
Antara sadar dan tidak sadar dari kejauhan aku berdiri ketakutan menyaksikan kobaran api yang menjilat gudang besar milik orangtuaku. Aku merasa seakan kakiku ikut dibakar api yang ganas itu. Aku merasa orang yang paling lemah dan tak berguna. Pikiranku kosong dan tidak tahu harus berbuat apa. Kakiku lemas dan tak mampu berdiri tegak. Hatiku hampa, karena ini adalah awal ketidakberartianku. Aku merasa semua orang sedang mengolok- olok aku, menghina dan mengadili aku. Hatiku semakin hancur melihat kobaran api yang begitu besar, akhirnya aku terduduk dalam kepasrahan dan ketidakberdayaan. Aku membalikkan badan, mataku tertuju ke sebuah gereja yang ada di samping rumah pakdeku itu. Entah apa yang mendorong hatiku saat itu. Aku pun bersujud di depan pintu gereja yang tertutup itu. Satu yang menjadi permintaanku. Tuhan berikan aku kesempatan untuk hidup satu kali lagi. Aku tidak mengerti maksud doaku itu. Tetapi aku sadar bahwa aku telah mengucapkan satu janji dihadapanNYa. Aku telah berjanji akan mengubah hidupku jika diberi kesempatan. Niatku itu membuatku bertahan bersujud dan pasrah. Tidak lama kemudian para tetangga datang membantu kami untuk mengais barang-barang yang masih tersisa. Aku merasa ada sesuatu yang telah hancur dalam hidupku dan aku harus menyusun kembali hidup yang telah hancur berkeping-keping itu.
Dalam kurun waktu yang tidak lama, bahan-bahan bangunan telah tersedia untuk membangun kembali rumah kami yang telah hancur dengan dengan gudang itu. Semuanya berjalan dengan baik tanpa ada penghalang termasuk dari segi finansial.
Aku kembali ke tempat kostku dengan suasana hati yang berbeda. Teman kencanku tidak pernah berhenti merayuku. Berbeda dari sebelumnya, kali ini dia merayuku bukan untuk mendapatkan sesuatu barang tetapi untuk mau berkencan kembali dengan dia. Ingatanku akan janji yang pernah kuucapkan kepada Tuhan masih segar dalam benakku. Semua rayuan dan godaan yang ia buat masih mampu aku atasi hingga aku lulus dari SMA di sekolah itu.
Harapan untuk hidup lebih baik, orangtuaku memberikan tawaran untuk melanjutkan study di jakarta. Aku menanggapi dengan baik. Dalam perjalan study dan pergaulan selama di Jakarta membuatku jatuh lagi untuk kedua kalinya. Dalam pergaulanku, aku menemukan sosok yang mempunyai kecenderungan yang sama dengan aku. Entah mengapa tatapan matanya membuatku takluk dan lupa akan janji yang pernah aku janjikan pada Tuhan, hingga aku berkata ya pada saat dia mengajakku untuk berkencan dan menjadi teman pasangannya. Dia memberikan sesuatu sebagai tanda ikatan persahabatan kami dan aku menyambutnya. Kamipun saling memberikan nomor handphone. Komunikasi yang tidak pernah putus membuat persahabatan kami menjadi dalam. Hingga pada suatu saat pakde yang diberi wewenang oleh orang tuaku mengontrol pergaulanku menangkap basah kami sedang berkencan di tempat kostku. Aku kekatukan, rasa bersalahku membuatku tidak berani pulang ke tempat kost. Bahkan ke kampus pun aku jarang berangkat.
Kami justru semakin tak terpisahkan. Kami rela untuk tidak masuk perkuliahan hanya untuk berkencan. Pertemuan kami diatur sedimikian rupa hingga pakde tak mampu melacakku. Apa yang telah aku lupakan dimasa lalu yakni rokok, ganja dan minuman keras kini kembali menjadi bagian dari hidupku. Aku dikejar rasa bersalah hingga aku berusaha agar pakde tidak akan pernah menemukanku. Akhirnya uang bulananku stop karena anjuran pakdeku. Aku coba tetap bertahan hidup dengan uang tabunganku hingga habis tak tersisa. Biaya hidup yang begitu tinggi akhirnya membuatku kembali pulang ke tanah kelahiranku.
Hati orangtua siapa yang tidak ingin anak berhasil? Itulah yang mendorong orangtuaku untuk memberiku kesempatan kedua kalinya menjalani perkuliahan. Kali ini aku yang memilih tempat untuk melanjutkan studyku. Yogjakarta adalah kota yang aku rasa paling cocok menurutku.
Sesampai di yogyakarta aku mencoba menjalani hidupku dengan hal-hal yang wajar. Aku berusaha mengontrol diriku agar kegagalan seperti yang aku alami di Jakarta tidak terulang lagi. Namun sama dengan perjalan Yesus menuju kalvari, akupun jatuh untuk ketiga kalinya. Saat ini persoalan tidak di area kampus melainkan di tempat kostku. Seorang perempuan yang sudah berumur lebih tua dari aku mendatangi kamarku. Seperti biasanya kost-kostan, saling mengunjungi satu dengan lain adalah hal yang wajar, maka akupun menerimanya secara wajar saja. Aku sudah membaca ada sesuatu yang aneh tetapi saya tetap berusaha untuk sadar diri dan berusaha mengotrol diri. Namun dengan ketekunannya dan kebaikannya serta keterbukaanya membuatku luluh dan akhirnya jatuh cinta kepadanya. Aku melayani tawarannya untuk berkencan.
Begitulah kami menjalani hidup kami dengan saling memperhatikan. Bahkan kecemburuan pun sering menjadi penyebab perkelahian kami. Cinta yang kuat tetap bisa menyelesaikan persoalan-persoalan kecil, hingga kecemburuan itu tidak membuat kami putus.
Suatu hari aku mengalami kecelakaan pada saat berkeliling mengitari kota Yogyakarta dengan sepeda motor. Hal itu membuatku tidak sadarkan diri, tidak pingsan tetapi hanya lupa ingatan sementara. Aku tidak mengenal siapa aku, bahkan alamat kostku pun aku tidak ingat. Tidak ada luka yang kelihatan memar juga tidak ada, tetapi aku memang tidak mengenal siapa aku. Saat ini aku mengalami hal yang aneh karena aku berpergian dengan sepeda motor yang tanpa tujuan tidak membawa kartu indentita. Sehingga orang yang hendak menolongku pun menjadi bingung ditambah lagi kartu identitas satupun tidak ada yang aku bawa. Akhirnya mereka berembuk dan memutuskan membawaku ke rumah sakit untuk cek up.
Setelah pulang dari rumah sakit aku kembali mengalami hal yang aneh dan dapat dikatakan seprti muzizat, karena di dalam taksi menuju perjalanan pulang aku melihat sosok manusia yang berpakaian putih dan berusaha duduk disampingku seraya berkata: jika tetap hidup seperti ini maka hidup kembali yang aku janjikan tidak akan pernah ada. Mendengar itu aku tertegun dan spontan teringat akan apa yang pernah aku minta dan janjikan pada Tuhan. Aku terdiam dalam segala pergulatanku akan arti semua ini. Disamping merasa sakit aku juga harus berpikir tentang sapaan yang baru saja aku dengar tadi.
Aku bingung dan tau harus cerita kepada siapa. Karena aku yakin jika aku menceritakan tentang kejadian itu kepada teman-teman mereka pasti menganggapku halusinasi. Aku coba abaikan pemikiran itu dan mencoba fokus pada kesembuhanku. Tidak lama kemudian setelah beberapa hari tepatnya hari minggu seorang teman kampusku menelepon dan mengajakku untuk pergi ke gereja. Dengan seribu macam alasan saya coba jawab untuk tidak ikut akan ajaknnya itu. Tetapi tidak henti-hentinya dia mengajakku untuk pergi ke Gereja bersama dengannya. Suatu hari ia memberi alasan yang kuat untuk mengajakku pergi ke Gereja dan membuatku kalah sehingga luluh tanpa alasan apapun. Katanya dengan nada memelas; ”Orang tua kita tidak ada disini, kita jauh dari mereka, siapa yang menjaga kita? Doalah yang menjadi kekuatan kita dan dalam doa kita akan tumbuh kuat bila kamu memeliharanya”. Akhirnya dengan hati yang terpaksa kami pun pergi ke Gereja bersama-sama.
Sebulan setelah untuk pertama kalinya selama saya finggal di Yogyakarta u saya ke Gereja sela tinggal di Yogyakartamendengarkan perkataan temanku itu aku pun diam-diam pergi ke Gereja, dan akhirnya lama-kelamaan kau selalu geraja dan melupankan masa lalulku. kepergian ayah, ibu memperkenalkan seorang pria kepada saya. Ibu mengatakan kalau pria itu hanyalah temannya saja. Namun, kenyatanya sebulan setelah perkenalan itu ibu menikah dengan pria tersebut. Dan kini saya benar-benar telah menjadi anak tiri.
Kemudian setelah ibu menikah dengan pria itu, saya diajak ibu pindah ke Jakarta untuk tinggal serumah dengan ayah tiri saya. Dan kami tinggal bertiga di sana. Saya merasa tidak nyaman tinggal di sana. Dan saya meminta kepada ibu supaya saya tinggal bersama nenek di Jogja. Namun, ibu tidak memperbolehkan saya tinggal bersama nenek. Kata Ibu nanti sulit mengawasi saya. Lagipula nenek sudah tua. Bener juga kata ibu.
Setelah sekian lama saya tinggal di Jakarta saya sering bermimpi bertemu dengan ayah. Sampai pada suatu siang yang terik ketika saya duduk termenung di kamar, saya seperti mendengar suara bisikan yang sangat lembut. Suara tersebut menyuruh saya untuk mencari Ayah ke Sumatera, ke Kota Medan. Saya langsung mencuri uang Ayah tiri saya dan pergi ke sana sendirian dengan menggunakan bus. Sesampai di kota Medan saya berusaha mencari ayah selama beberapa hari. Tetapi saya kehabisan uang, lalu saya mulai mengemis dari rumah ke rumah. Sampai suatu ketika saya ditangkap polisi. Saya bertanya, "Apa salah saya?" Katanya kamu termasuk daftar pencarian orang hilang, dan akan dikirim kembali ke Jakarta. Saya benar-benar kecewa karena saya tidak berhasil menemukan ayah di sana.
Sejak saat itu saya semakin banyak mendengar suara-suara yang menyuruh saya ini dan itu. Namun kini saya tak bisa apa-apa karena seorang paman dari pihak ayah tiri saya, ditugaskan untuk menjaga ke mana pun saya pergi, termasuk ketika di sekolah. Ruang gerak saya semakin sempit. Saya merasa menjadi seperti tawanan.
Suara-suara lembut itu semakin banyak dan mulai mengajak saya berbincang-bincang ketika saya sedang sendirian. Namun, sejak saat itu pula ibu jadi sering memarahi saya. "Kenapa?", saya bertanya. Katanya saya sering berbicara dan tertawa sendiri. Saya jawab itu tidak benar. Suara -suara itulah yang mengajak saya mengobrol, mereka adalah kawan-kawan setia saya.
Ibu saya benar-benar seorang yang keji. Ia malah memasukkan saya ke rumah sakit jiwa Grogol. Saya berulang kali berteriak bahwa saya tidak gila. Namun, Ibu saya yang bengis tak peduli, ia tetap menyeret saya ke rumah sakit jiwa. Dari Grogol, saya pernah kabur namun saya tertangkap lalu dimasukkan ke dalam ruangan yang mirip neraka sebab pasien-pasien di dalamnya saling membenci dan kerap berkelahi satu sama lain. Saya pernah kena tinju, mengkibatkan sudut bibir saya berdarah. Karena ibu mengagap pada diri saya tidak ada perubahan untuk sembuh, kemudian ibu memindahkan saya ke rumah sakit jiwa Bogor. Di sana lebih tenang, saya suka. Namun, lagi-lagi ibu saya bertindak sewenang-wenang, ia mengeluarkan saya setelah tiga tahun berada di sana. Katanya di sana saya tak sembuh-sembuh dan akhirnya ibu sadar bahwa saya sebenarnya tidak gila.
Pada Pak Andre, perawat yang berjaga sore itu, saya pamit pulang. Dengan pikiran yang penuh dan perasaan yang terharu, aku beranjak pergi. Lampu tabung yang remang-remang dan bayangan pada dinding-dinding putih rumah sakit mengiringi langkahku keluar dari bangsal psikiatri itu. Serayah kepak sayap kelelawar tak berbunyi di angkasa. Begitu juga dengan ruang yang baru saja kutinggalkan. Senyap. Tak ada suara.
Harapan saya sebagai seorang anak, semoga pada suatu hari ayah saya benar-benar datang menjemput dan membebaskan saya dari kekangan ibu saya yang tak berperasaan. Amien
Inilah ceritanya yang menjadi sebuah tulisan setelah saya rangkai ulang berdasarkan cerita dari kisah nyata.
Akhir dari cerita ini menjelaskan bahwa si wanita itu telah berubah dan mencoba menjalani hidup yang baik dan benar. Namun keluarganya, khususnya sang ibu tidak dapat menerimanya dan menganggap bahwa dirinya bukan lagi anaknya juga memperlakukannya seperti tidak manusiawi karena dianggap gila.
Sedangkan sang ayah telah pergi meninggalkan si wanita itu dan ibunya lebih dulu, pergi ntah keman. Sehingga dia hanya berharap suatu saat nanti Ayah nya pulang (datang} dan menjemput dan membawa dia lepas dari kekangan sang ibu.
Cerita ini adalah berdasarkan Cinta terlarang kemudian menjadi kehidupan yang penuh dengan Harapan.