Runtuhnya kediktatoran Orde Baru yang diharapkan, ternyata menghasilkan perubahan politik yang membawa suara korban dan rakyat yang tertindas secara umum hingga saat ini masih merupakan harapan yang belum terwujudkan. Bergantinya kepemimpinan politik pasca reformasi 1998 juga tampaknya tidak menghasilkan hasil pada reformasi tersebut. Penegakan keadilan yang sejatinya merupakan landasan utama reformasi tetap saja masih berupa mimpi, janji imitasi bahkan dijadikan sebagai komoditas politik saat ini. Dinamika politik nasional masih didominasi oleh partai-partai politik yang merupakan metamorfosa dari kekuatan politik dan ekonomi lama serta kalangan dari militer. Aktor politik yang ada menunjukkan betapa “kentalnya” mereka mengusung kepentingan ekonomi politik mereka sendiri, yang pada realitanya semakin jauh dari kebutuhan dan tuntutan rakyat yang menginginkan kesejahteraan sesungguhnya. Perdebatan yang diwacanakan oleh kelompok politik di beberapa media seringkali sangat jauh dari idealismenya. Praktis keputusan politik yang dihasilkan lebih banyak mengakomodasi kepentingan ekonomi politik yang belum membawa rakyat pada tingkat kesejahteraan. Ditambah lagi kemudian pemilik dana yang menjadi sponsor mampu menyandera kebijakan politik dan akan melemahkan serta memandulkan institusi penegak hukum terutama untuk melindungi dan menutupi korupsi politik. Di sinilah kemudian kepentingan ekonomi modal “asing” menemukan ladang yang subur untuk melakukan intervensi yang semakin merampas kedaulatan politik dan ekonomika Indonesia. Intervensi yang ada tidak saja mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah sehari-hari tetapi bahkan melakukan intervensi dalam pembuatan perundangan-undangan bahkan konstitusi negara ini. Kebijakan dan proses politik yang ada saat ini lebih ditentukan kepentingan modal yang mengakibatkan akses terhadap sumber daya tidak lagi ditentukan oleh warga negara (rakyat), tetapi menjadi komoditas. Yang pada akhirnya melahirkan kompetisi individu berdasarkan persaingan dan mengabaikan kepentingan umum.
Bila lahirnya Orde Baru diwarnai amandemen berbagai perundang - undangan dibidang ekonomi, seperti Penanaman Modal Asing, Pertambangan, Kehutanan, hingga di masa pemerintahan Megawati adanya UU Perkebunan, Sumber Daya Air , dan di masa SBY-JK UU 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dan yang terbaru adalah UU mengenai Intelejen, Pendidikan, dan di bidang perburuhan muncul UU Ketenagakerjaan yang melapangkan Labor Market Flexibility dalam bentuk buruh kontrak (outsourcing) yang semakin rentan atas jaminan keberlanjutan kerja, jaminan kesejahteraan dan kebebasan berorganisasi. Ditambah lagi ‘persetujuan’ elit-elit politik dominan di partai politik terkait kebijakan-kebijakan penghapusan subsidi, liberalisasi impor beras, komersialisasi pendidikan dan kesehatan hingga privatisasi BUMN..Untuk membangun negara pasar bebas ini, rezim SBY menyesuaikan kebijakan dengan keinginan para pengusaha. Penjualan aset-aset negara kepada pengusaha asing dan lokal, yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Bahan bakar minyak (BBM), listrik, air minum, transportasi, telekomunikasi, yang sebenarnya menjadi kebutuhan hajat orang banyak, akhirnya dijual dan menghasilkan biaya-biaya yang sangat tinggi bagi rakyat Indonesia untuk mengaksesnya. Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan publik, seperti Pertamina, Perusahaan Air Minum, perusahaan transportasi dan telekomunikasi telah menjadi perusahaan swasta dan dioperasikan dalam rangka mencari keuntungan.
Berbicara tatanan global juga menjadi referensi dalam pengelolaan ekonomi agar kita mendapatkan manfaatnya. Kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi dalam pertemuan G-20, perjanjian perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN Free Trade Area, China Asean Free Trade Area telah melicinkan jalannya ekspansi modal dalam menguasai alat – alat produksi nasional yang justru akan merugikan rakyat dan kepentingan nasional. Akibat kebijakan rezim SBY, maka penggusuran-penggusuran terjadi dimana-mana, rakyat Indonesia akhirnya tidak memiliki kepastian kerja karena sistem kerja kontrak dan outsourcing, biaya pendidikan dan kesehatan di Indonesia semakin menjulang tinggi, para petani dan nelayan harus terusir dari tanah dan lautnya, karena tidak mampu bersaing
dengan para pengusaha yang memiliki teknologi hebat dan modal yang besar. Padahal sebagai negara agraris, sebagian besar penduduk Indonesia bergantung kepada sumber daya agraria, khususnya tanah. Hal ini menunjukkan bahwa rezim SBY-Boediono tidak punya kepedulian terhadap nasib kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat yang bergantung terhadap tanah dan sumber-sumber agraria.
Dalam situasi kemiskinan , kita juga menemukan mereka yang secara terpaksa mencari pekerjaan sambil tetap menjadi penanggung jawab utama urusan keluarga sehingga melahirkan beban ganda, yaitu perempuan. Sebagian terjebak dalam lingkaran perdagangan perempuan dan juga terpaksa mengambil pilihan berat untuk buruh migrant. Tidak adanya jaminan perlindungan dari ketidakadilan majikan hingga tindak kekerasan fisik maupun seksual. Demikian anak-anak di dalam kondisi kemiskinan semakin rentan dan sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Sebagian terpaksa menjadi pekerja anak.
Gerakan Rakyat
Semakin kuatnya cengkeraman Rezim Neoliberal melalui gencaran sosial ekonomi politik yang dilakukan, neoliberalisme bekerja sama melalui kerja dengan kekuasaan beserta agennya. Dan terlihat jelas perlawanan – perlawanan dari gerakan sosial dan gerakan rakyat saat ini. Gerakan rakyat terus mengkonsolidasikan kekuatannya untuk menjadikan gerakan perlawanan yang sistimatis dan terorganisir melalui wadah-wadah yang tersedia, kememajuan perspektif ideology politik dan organisasi juga menjadi faktor pendukungnya. Disektor perburuhan, pertarungan dalam politik perburuhan tidak hanya sekedar penolakan terhadap revisi UU atau perundangan lainnya, tetapi mengangkat posisi politik kaum buruh Indonesia. Sektor Agraria, membangun fondasi yang kuat atas keadilan sosial yang sejalan dengan amanah UUPA 1960 juga sedang digencarkan. Sektor nelayan, menuntut pemerintah segera memberikan subsidi BBM dan penghapusan pungutan perikanan. Sector pendidikan, munculnya RUU perguruan tinggi saat ini menjadi perlawanan baru bagi gerakan Mahasiswa saat ini, yang dimulai dari BHP sehingga melahirkan komersialisasi pendidikan. Sector perempuan, lahirnya beban ganda dan penyiksaan atas buruh migrant juga sedang menuntut rejim neoliberal agar segera bertanggung jawab atas penindasan terhadap perempuan. Dan masih banyak lagi perlawanan yang muncul dari rejim neoliberalisme saat ini yang dinilai gerakan rakyat tidak pernah mensejahterakan masyarakat Indonesia. Gerakan rakyat terus bersatu dan menggunakan politik kolektif dalam memperjuangkan kedaulatan rakyat dan perebutan kekuasaan secara demokratis dan hidup dengan kedamaian.
Sumber: Diskusi Publik "REJIM NEOLIBERALISME SBY-BUDIONO VERSUS GERAKAN RAKYAT"